FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ASPEK HUKUM DALAM
EKONOMI
Materi Hukum Perjanjian
Nama : Pisca
Ramadhana
NPM : 25211535
Kelas : 2EB04
I. Pendahuluan
Sebagai mahluk sosial manusia
selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam
komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun
juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan
diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur
hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.
Sistem hukum di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan yang
mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat
sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa.
II. Pembahasan
A. Pengertian Hukum Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan
di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau
lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena
menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal
dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua
belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu
secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana
kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
1. Menurut Kitab Undang Undang
Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada
beberapa kelemahan.
Kelemahan- kelemahan itu adalah
seperti diuraikan di bawah ini:
1. Hanya
menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
2. Kata
perbuatan mencakup juga tanpa consensus
3. Pengertian
perjanjian terlalu luas
4. Tanpa
menyebut tujuan
5. Ada
bentuk tertentu, lisan dan tulisan
6. Ada
syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah
ini:
a.
syarat ada persetuuan kehendak
b.
syarat kecakapan pihak- pihak
c.
ada hal tertentu
d. ada
kausa yang halal
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hukum
yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada,
tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas
beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini
adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk
mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa
dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata
perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan
mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal
dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak
tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya
kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan,
penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya
paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum
telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam
KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah
disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi
perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas.
Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan
ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab
dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat
pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang
atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini
dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan
dapat dijalankan.
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka
para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik
layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
1.
perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya.
2.
perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik
kembali kecuali adanya kesepakatan daripara pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh
undang-undang.
3.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat
baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal
1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat
kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi
kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama
tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan,kepatutan dalam
masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
Syarat sahnya suatu Perjanjian
1. Syarat
Subyektif :
a.
Sepakat untuk mengikatkan dirinya;
b.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
2. Syarat
Obyektif :
a.
Mengenai suatu hal tertentu
b.
Suatu sebab yang halal.
Unsur Perjanjian
Aspek Kreditur atau disebut aspek
aktif :
1. Hak
kreditur untuk menuntut supaya pembayaran dilaksanakan
2.
Hak kreditur untuk menguggat pelaksanaan
pembayaran
3.
Hak kreditur untuk melaksanakan putusan hakim.
Aspek debitur atau aspek pasif
terdiri dari :
1. Kewajiban
debitur untuk membayar utang
2. Kewajiban
debitur untuk bertanggung jawab terhadap gugatan kreditur
3. Kewajiban
debitur untuk membiarkan barang- barangnya dikenakan sitaan eksekusi.
Bagian dari Perjanjian
1. Essensialia
Bagian –bagian dari perjanjian
yang tanpa bagian ini perjanjian tidak mungkin ada. Harga dan barang adalah
essensialia bagi perjanjian jual beli.
2. Naturalia
Bagian-bagian yang oleh UU
ditetapkan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur.
Misalnya penanggungan.
3. Accidentalia
Bagian-bagian yang oleh para
pihak ditambahkan dalam perjanjian dimana UU tidak mengaturnya.
Misalnya jual beli rumah beserta
alat-alat rumah tangga.
Dihapusnya Perjanjian (ps.1381 KUHPerdata)
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran;
3. Karena pembaharuan
utang/novatie;
4. Karena perjumpaan
utang/kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena musnahnya obyek;
7. Karena pembebasan utang;
8. Karena batal demi hukum atau
dibatalkan;
9. Karena berlakunya syarat
batal;
10. Karena kadaluarsa yang
membebaskan.
Perjanjian Kredit
Menurut pasal 1 ayat (11) UU
No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan,
kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur-unsur perjanjian kredit:
1)
Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit bahwa
kredit tersebut akan terbayar kembali
2)
Waktu, pemberian kredit dan pembayaran kembali
memiliki jangka waktu tertentu
3)
Resiko, bahwa setiap pemberian kredit selalu
memiliki resiko, semakin lama jangka waktu yang diberikan, semakin tinggi
resiko kredit tersebut
4)
Prestasi, prestasi dalam perjanjian kredit
adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa uang ataupun barang dan jasa, tapi
yang paling sering dijumpai adalah uang)
Jenis-jenis Kredit:
Dari segi tujuan penggunaannya,
kredit dibagi menjadi:
1) Kredit
produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada bentuk usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa. Kredit Produktif dapat berupa KMK (kredit modal kerja)
yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit
investasi) yaitu kredit diberikan untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2) Kredit
komsumtif, yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan konsumtif
masyarakan pada umumnya
Dari segi jangka waktunya, kredit
dibagi menjadi:
1) Kredit
jangka pendek, tidak melebihi 1 tahun
2) Kredit
jangka menengah, lebih dari 1 tahun tapi tidak lebih dari 3 tahun
3) Kredit
jangka panjang, lebih dari 3 tahun
Setiap kredit yang telah
disepakati antara pemberi dan penerima kredit, harus dituangkan dalam bentuk
perjanjian kredit. Akar dari perjanjian kredit adalah perjanjian
pinjam-meminjam. Syarat sah perjanjian kredit adalah sama dengan syarat sah
perjanjian pada umumnya, yaitu yang tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan,
cakap hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Fungsi dari
dibuatnya perjanjian kredit adalah sebagai:
a. Perjanjian
pokok, yang biasanya diikuti dengan perjanjian penjaminan
b. Sebagai
alat bukti, mengenai hak dan kewajiban para pihak
c. Sebagai
alat pemantauan kredit
Bentuk perjanjian kredit dapat
berupa akta bawah tangan ataupun akta otentik.
Pasal 1874 KUHPer: Akta dibawah
tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui
perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti
Pasal 1868 KUHPer: Akta otentik
adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh UU yang dibuat oleh atau
dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta
dibuatnya. Yang dimaksud dengan pegawai umum antara lain notaries, PPAT,
pegawai KUA, dll
Pihak-pihak dalam perjanjian
kredit:
1. Kreditur,
kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah bank atau lembaga
pembiayaan selain bank, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi
pinjaman bisa saja individu biasa.
2. Debitur,
debitur (penerima kredit) adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek
hukum, baik individu (person) atau badan hukum (recht person).
Pengakhiran perjanjian kredit:
Perjanjian kredit dapat berakhir
oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Pembayaran/pelunasan,
tindakan sukarela dari debitor untuk memenuhi perjanjian.
2. Subrogasi,
penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga (pasal 1400 KUHper).
3. Pembaruan
Utang (novasi), ada tiga bentuk novasi yaitu:
a.
Mengganti kreditur
b.
Mengganti debitur
c.
Merubah obyek/isi perjanjian
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam
KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam
membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda),
asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
1. Asas Kebebasan Berkontrak
(freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas
membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar
hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun,
diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama
kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak
melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan
ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta
Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam
pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi),
maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat
memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu
merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki
kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme
(concensualism)
Asas konsensualisme berarti
kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik
tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat
dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas
tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan
syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus
tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat
secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good
faith/tegoeder trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin
para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan
saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh
maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi
perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat
pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat
mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat
perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang membuatnya.
Syarat Batal Perjanjian
Dalam banyak praktek membuat
surat perjanjian sering dimajukan klausul sebagai berikut: jika salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak yang lain dapat membatalkan
perjanjian. Sebenarnya klausul semacam ini tidak perlu dimasukan kedalam
perjanjian, karena hukum perdata telah menerapkan prinsip umum dalam perjanjian
berupa syarat batal. Suatu syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
perjanjian (semua perjanjian) apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya.
Pasal 1266 KUHPerdata:
Syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya.
Syarat batal merupakan suatu
batasan, dimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dalam
perjanjian (wanprestasi), maka pihak yang lain dalam perjanjian itu dapat
membatalkan perjanjian secara sepihak (tanpa persetujuan pihak yang
wanprestasi). Klausul semacam ini dianggap selalu ada dalam setiap perjanjian,
sehingga meskipun suatu perjanjian tidak menentukannya dalam bunyi
pasal-pasalnya, prinsip ini tetap berlaku.
Tentu saja keberlakuan prinsip
ini tidak serta merta. Meskipun syarat bataldianggap selalu berlaku pada semua
perjanjian, namun batalnya perjanjian itu tidak dapat terjadi begitu saja,
melainkan harus dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Pihak yang menuduh
pihak lainnya wanprestasi, harus mengajukan pembatalan itu kepada pengadilan.
Tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah
wanprestasi dan karenanya perjanjian dibatalkan, maka bisa dikatakan tidak ada
perjanjian yang batal.
Dalam banyak perjanjian pula
pasal 1266 KUHPerdata tersebut seringkali dikesampingkan. Dalam praktek, banyak
perjanjian memasukan klausul sebagai berikut: perjanjian ini mengesampingkan
berlakunya pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Maksud dari klausul tersebut adalah
agar para pihak dapat membatalkan perjanjiannya secara sepihak tanpa perlu
mengajukan pembatalan melalui pengadilan. Karena pasal 1266 KUHPerdata berlaku
secara mutlak, maka percuma saja memasukan klausul tersebut karena
ujung-ujungnya pembatalan itu harus ditempuh juga lewat pengadilan.
Sumber :
http://www.scribd.com/doc/13273745/HUKUM-PERJANJIAN
http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/http://legalakses.com/category/artikel/hukum-perjanjian-artikel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar